Redupnya Reason dan Ketertinggalan Negeri-Negeri Muslim
Buku karya Mustafa Akyol ini thought-provoking. Ia berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang juga telah lama ditanyakan banyak orang, baik secara diam-diam atau terbuka: mengapa reason lama redup dan menghilang dari negeri-negeri berpenduduk Muslim?
Akyol dengan terampil menyelidiki sumber-sumber kekuatan reason dari sejarah dan teks Islam sendiri dan kemudian menguliti sebab kenapa masa gemilang dimana pengetahuan menjadi penopang masa-masa keemasan itu turun drastis hingga kemudian didominasi oleh fideism hingga hari ini.
Paling tidak ada tiga jawaban saling terkait yang ditawarkan oleh Akyol untuk pertanyaan tersebut.
Jawaban pertama, ia mengutip Edward Said dalam Arab Human Development Report 2003:
“it isn’t knowledge as a product or commodity that we need; nor is it a matter of remedying the situation by having bigger libraries, a greater number of terminals, computers and so forth, but a qualitatively different knowledge based on understanding rather than on authority, uncritical repetition, mechanical reproduction. It is not facts, but how facts are connected to other facts, how they are constructed, whether they relate to hypothesis or theory, how one is to judge the relationship between truth and interest, how to understand reality as history….which can be summed up in the phrase/question, how to think?" (hal. 106).
Dengan kata lain, Akyol berusaha menunjukan, dan ia berhasil, betapa berpengaruhnya dan kuatnya reason dalam dunia Islam pada suatu masa terdahulu yang cukup panjang, namun karena beberapa sebab daya pikir itu menurun sebagaimana direfleksikan dengan masygul oleh Edward Said itu.
Hal ini membawa Akyol pada jawaban kedua yaitu bahwa dunia Islam mengalami pertarungan ideologis/teologis secara internal dimana kutub postulat teologis yang tidak memberikan ruang bagi reasoning pada akhirnya menjadi begitu dominan, yaitu kutub pemikiran Asy’ariah.
Mundurnya reason ini berakibat pada tertutupnya ruang pemikiran yang sebelumnya demikian cemerlang dilahirkan oleh para sarjana Muslim. Dan Akyol juga mengisahkan dengan getir betapa para sarjana Muslim cemerlang itu akhirnya mendapati hidup mereka dihinakan oleh kutub pemikiran yang mendominasi itu di negeri-negeri Muslim tempat mereka tinggal.
Pada akhirnya, redupnya reason juga menyebabkan mundurnya inovasi di Kekaisaran Ottoman sebagai pusat kekuasaan Islam. Ilustrasi yang paling keras terkait hal ini adalah bagaimana mesin cetak baru diperkenalkan oleh seorang pemikir bernama Ibrahim Mutefferika ke Ottoman Empire pada tahun 1727, terlambat tigaratus tahun setelah mesin cetak ditemukan oleh Johannes Gutenberg pada tahun 1455.
Sebagai pemikir, Mutefferika antara lain menulis risalah berjudul The Rational Basis for the Ordering Nations dimana ia menyerukan reformasi militer kekaisaran Ottoman dan realisme dalam mempersiapkan diri untuk berperang. Sarannya tidak menembus dinding istana. Sebaliknya, ketika Ottoman kemudian kalah besar dalam perang melawan Rusia (1768-1774), Ahmed Resmi Effendi, seorang birokrat Ottoman yang berpengaruh saat itu, dalam evaluasinya atas kekalahan itu menyatakan “that God grants victory through pious zeal alone”. Bukan ketiadaan realisme namun ketidaksalehanlah yang menyebabkan kekalahan Ottoman dalam perang tersebut.
Jawaban ketiga atas pertanyaan di atas tadi adalah bahwa pada banyak episode sejarah Islam, pertarungan ideologis/teologis internal yang memundurkan reason itu seringkali berpangkal soal pada power dan kekuasaan. Akyol memperlihatkan betapa sulitnya tanah-tanah Muslim ketika itu menghindari despotisme, termasuk di masa kehidupan sarjana Muslim paling berpengaruh, Ibn Rushd. Toleransi yang diberikan kepada penguasa despotik Islam di masa-masa itu boleh jadi disebabkan oleh kenyataan bahwa Ibn Rushd dan cendekiawan Muslim seangkatannya terlambat memperoleh akses pada karya-karya Aristoteles yang sebetulnya lebih banyak menekankan pada prinsip-prinsip yang dalam leksikon politik modern hari ini dikenal sebagai democratic governance.
Ibn Rushd lebih banyak berinteraksi dengan karya-karya Plato seperti The Republic dan The Laws, dimana Plato diketahui cenderung memilih autokrasi di bawah kepemimpinan philosopher king. Dengan kata lain, pemikiran mengenai pemerintahan yang berkembang saat itu berorientasi pada harapan atas kehadiran benign autocrat, sesuatu yang terbawa hingga kini di banyak negeri berpenduduk Muslim.
Berbeda dengan tradisi Barat yang kemudian berkembang meminjam tradisi Aristoteles, yang lebih cenderung untuk “mencurigai” penguasa dan kekuasaan. Oleh karena itu di Barat lahir pemikiran dan instrumen untuk membatasi kekuasaan, berpisah jalan dari negeri-negeri Muslim yang lebih mentoleransi despotisme dan autoritarianisme berkepanjangan. Despotisme dan autoritarianisme membawa serta konsekuensi sosial politik yang berlarut yaitu hilangnya reason, munculnya diskriminasi, marjinalisasi dan intoleransi, termasuk kepada perempuan dan juga kelompok-kelompok yang berbeda pandangan.
Walaupun, ada juga sarjana lain saat itu seperti Ibn Khaldun yang melalui karya masyhurnya Muqadimmah menganalisa sebab-sebab jatuh bangunnya dinasti dalam dunia Islam. Ia menyimpulkan bahwa kekuasaan yang berlangsung lama sudah pasti akan menjadi korup dan itu menjadi sebab-sebab kemundurannya sendiri.
Ibn Khaldun menolak taghallub, yaitu menggapai kekuasaan dengan kekuatan memaksa, winning power by force. Ibn Khaldun menganjurkan pemerintahan yang kekuasaannya dibatasi (limited government) dan penerapan pajak yang rendah. Ibn Khaldun tentu akan mengangguk setuju bila menyaksikan prinsip-prinsip pembatasan kekuasaan dan masa jabatan penguasa hari ini di negara-negara yang demokrasinya berjalan sehat.
Fast-forward melihat situasi kontemporer. Secara ilustratif Akyol menggambarkan bahwa dari 900 pemenang Nobel dalam seratus tahun terakhir, 200 diantaranya adalah ilmuwan Yahudi dan hanya 12 orang ilmuwan Muslim walaupun jumlah total penduduk Muslim dunia adalah 100 kali jumlah penganut Yahudi (hal. 133). Menyikapi ketertinggalan ini, pandangan konspiratorial tumbuh subur di kalangan masyarakat Muslim. Namun menurut Akyol, sejalan dengan argumennya mengenai kemunduran reason dalam dunia Islam, penyebab utamanya adalah Muslim self-sabotage terhadap kemajuannya yang dulu didorong oleh sarjana-sarjana seperti Ibn Rushd.
Dalam konteks kekinian, saya menduga ada sebab lain, yang tidak dielaborasi oleh Akyol, yaitu kolonialisme dan imperialisme. Sebagian besar negara-negara berpenduduk Muslim hari ini adalah negara yang baru merdeka setelah kolonialisme berakhir setelah Perang Dunia II usai pada tahun 1945. Selama masa kolonialisme, bangunan sosial dan kultural mereka remuk dan dihancurkan. Memerlukan waktu panjang untuk proses pelembagaan institusi dan nation-building. Situasi menjadi jauh lebih rumit karena mereka sekaligus dihadapkan pada kebutuhan untuk mereformasi pemikiran dan pada saat yang bersamaan haris mengejar ketertinggalan sebagai late comer dalam pembangunan dan industrialisasi, berhadapan kembali dengan para mantan penjajahnya.
Mustafa Akyol memulai buku ini dengan mengisahkan novel Hayy ibn Yaqzan karya Ibn Thufail yang pertama kali terbit pada tahun 1100-an. Karya ini kemudian menjadi rujukan para filsuf dan sarjana Barat ratusan tahun kemudian.
Hayy ibn Yaqzan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dari bahasa Arab pertama kali pada 1671 di Oxford karena baru “ditemukan” kembali. Kemudian pada tahun 1672 diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, dan pada 1674 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Sejak tahun 1671 karya magnum opus Ibn Thufail itu, yang terbit pertama kali 500 tahun sebelumnya, seketika menjadi rebutan bacaan para pemikir abad pencerahan Eropa, dari Spinoza, Leibniz, hingga John Locke.
Hayy adalah kisah bayi terdampar di pulau tak berpenghuni yang kemudian tumbuh besar menjadi dewasa tanpa kontak manusia. Kisah serupa dalam kazanah literatur Barat, mengenai manusia dewasa yang terdampar seorang diri, yaitu Robinson Crusoe, baru muncul 600 tahun kemudian. Dibandingkan Hayy, Crusoe adalah light-weight, karena Hayy ibn Yagzan pada dasarnya adalah kajian filsafat mendalam mengenai individu yang tumbuh dewasa seorang diri di pulau tak berpenghuni namun survive dengan menumbuhkan reason dan akal pikir dan “menemukan” sendiri Tuhan, dan tentu saja tanpa bantuan organized religion.
Karya Ibn Thufail ini merupakan permenungan teologi yang tidak saja dialami oleh Islam, tetapi juga oleh berbagai agama. Apakah manusia memiliki free will atau ia tidak punya kuasa atas diri dan pikirannya? Pergulatan dalam menjawab pertanyaan ini menyebabkan sejarah panjang konflik dan persekusi. Di negeri-negeri Muslim itu terjadi antara kelompok Mu’tazilah dan Asy’ariah sebagaimana dikisahkan dengan memikat oleh Akyol dalam buku ini.
Ibn Thufail sendiri adalah salah seorang penopang tradisi akal dan reason, seperti halnya Ibn Rushd, Ibn Sina (Avicena), Al Jabbar, Al Kindi, Al Farabi dan lainnya. Intelektual Muslim cemerlang seperti Ibn Thufail ini diberi ruang dan maju pesat di masa pemerintahan Sultan Al Ma’mun yang mendukung habis-habisan lembaga Bayt Al Hikma yang dikhususkan untuk mempelajari “sciences of the ancients”, yaitu mencari dan mengolah lagi tradisi pemikiran Yunani kuno. Bayt Al Hikma sendiri dibentuk sejak masa ayahnya, Sultan Harun al Rasyid, berkuasa.
Patut dicatat bahwa Bayt Al Hikmah beranggotakan tidak hanya pemikir Muslim, tetapi juga Kristen. Mereka ditugaskan Al Ma’mun untuk mencari, mempelajari, dan menterjemahkan pemikiran Pythagoras, Euclid, Plato hingga Aristoteles; dimana pada masa itu Barat/Eropa sedang terpuruk.
Merekalah yang memperkenalkan lagi filsafat pengetahuan Yunani kuno tersebut ke Barat. Itu adalah masa-masa dimana dunia Islam sangat kosmopolitan, inklusif, terbuka, berkemampuan menyerap (absorptive quality) dari segala penjuru dan memproduksi pengetahuan. Kemajuan itu hanya bisa terjadi karena adanya pluralitas pemikiran, seperti di dalam Bayt Al Hikmah yang berisi cendekiawan lintas agama.
Bagi mereka yang training akademiknya adalah bidang Islamic studies, apa yang ditulis Akyol mungkin adalah hal biasa. Kisah-kisah dan argumen yang dituliskan Mustafa Akyol bisa ditemukan terserak. Tetapi kelebihan Akyol adalah dalam buku ini ia mengurai dan menjahit kembali, memberi konteks dan bingkai, sehingga apa yang sudah “biasa” itu menemukan relevansinya dan menghasilkan narasi yang kuat.
Sebagai peneliti dengan training akademik di bidang political science, kesan saya menjadi berbeda. Telah cukup sering membaca terserak bagaimana para pemikir tangguh Muslim, yang menopang masa keemasan Islam dulu itu, kehilangan nyawa, karyanya dibakar, dan dipersekusi. Tetapi saat membaca kisah itu dinarasikan ulang dalam buku ini, hati menjadi berdebar-debar. Pikiran akan termenung ketika tiba di bagian yang mengisahkan bagaimana bahkan Ibn Rushd yang begitu cemerlang, yang dianggap sebagai precursor dalam proses enlightment dalam tradisi Kristen dan Yahudi di kemudian hari, habis ditindas, dipermalukan, diikat dipinggir jalan, dan diludahi orang yang lewat. Kitab-kitab karyanya yang ia tulis dalam bahasa Arab habis dibakar, tidak ada yang selamat. Salinan yang selamat adalah copy yang disimpan oleh sarjana Yahudi di masa itu. Bertahun-tahun kemudian karya-karya Ibn Rushd itu menemukan jalannya kembali di Barat, melalui sarjana Yahudi dan selanjutnya dipelajari dengan rakus penuh dahaga intelektual oleh para sarjana Barat, Kristen dan Yahudi, dan akhirnya meletakkan dasar-dasar inovasi dan kemajuan mereka sesudahnya.
Membaca buku ini membuat kita bersetuju bahwa ketertinggalan negeri-negeri Muslim lebih banyak disebabkan oleh self-sabotage dan intellectual suicide karena terpangkasnya kebebasan berpikir yang dulu sebetulnya diperlihatkan dengan sangat gemilang oleh para sarjana Muslim, yang kemudian dengan menyedihkan dihempaskan dan ditinggalkan oleh masyarakat Muslim sendiri.
Akyol dengan terampil menyelidiki sumber-sumber kekuatan reason dari sejarah dan teks Islam sendiri dan kemudian menguliti sebab kenapa masa gemilang dimana pengetahuan menjadi penopang masa-masa keemasan itu turun drastis hingga kemudian didominasi oleh fideism hingga hari ini.
Paling tidak ada tiga jawaban saling terkait yang ditawarkan oleh Akyol untuk pertanyaan tersebut.
Jawaban pertama, ia mengutip Edward Said dalam Arab Human Development Report 2003:
“it isn’t knowledge as a product or commodity that we need; nor is it a matter of remedying the situation by having bigger libraries, a greater number of terminals, computers and so forth, but a qualitatively different knowledge based on understanding rather than on authority, uncritical repetition, mechanical reproduction. It is not facts, but how facts are connected to other facts, how they are constructed, whether they relate to hypothesis or theory, how one is to judge the relationship between truth and interest, how to understand reality as history….which can be summed up in the phrase/question, how to think?" (hal. 106).
Dengan kata lain, Akyol berusaha menunjukan, dan ia berhasil, betapa berpengaruhnya dan kuatnya reason dalam dunia Islam pada suatu masa terdahulu yang cukup panjang, namun karena beberapa sebab daya pikir itu menurun sebagaimana direfleksikan dengan masygul oleh Edward Said itu.
Hal ini membawa Akyol pada jawaban kedua yaitu bahwa dunia Islam mengalami pertarungan ideologis/teologis secara internal dimana kutub postulat teologis yang tidak memberikan ruang bagi reasoning pada akhirnya menjadi begitu dominan, yaitu kutub pemikiran Asy’ariah.
Mundurnya reason ini berakibat pada tertutupnya ruang pemikiran yang sebelumnya demikian cemerlang dilahirkan oleh para sarjana Muslim. Dan Akyol juga mengisahkan dengan getir betapa para sarjana Muslim cemerlang itu akhirnya mendapati hidup mereka dihinakan oleh kutub pemikiran yang mendominasi itu di negeri-negeri Muslim tempat mereka tinggal.
Pada akhirnya, redupnya reason juga menyebabkan mundurnya inovasi di Kekaisaran Ottoman sebagai pusat kekuasaan Islam. Ilustrasi yang paling keras terkait hal ini adalah bagaimana mesin cetak baru diperkenalkan oleh seorang pemikir bernama Ibrahim Mutefferika ke Ottoman Empire pada tahun 1727, terlambat tigaratus tahun setelah mesin cetak ditemukan oleh Johannes Gutenberg pada tahun 1455.
Sebagai pemikir, Mutefferika antara lain menulis risalah berjudul The Rational Basis for the Ordering Nations dimana ia menyerukan reformasi militer kekaisaran Ottoman dan realisme dalam mempersiapkan diri untuk berperang. Sarannya tidak menembus dinding istana. Sebaliknya, ketika Ottoman kemudian kalah besar dalam perang melawan Rusia (1768-1774), Ahmed Resmi Effendi, seorang birokrat Ottoman yang berpengaruh saat itu, dalam evaluasinya atas kekalahan itu menyatakan “that God grants victory through pious zeal alone”. Bukan ketiadaan realisme namun ketidaksalehanlah yang menyebabkan kekalahan Ottoman dalam perang tersebut.
Jawaban ketiga atas pertanyaan di atas tadi adalah bahwa pada banyak episode sejarah Islam, pertarungan ideologis/teologis internal yang memundurkan reason itu seringkali berpangkal soal pada power dan kekuasaan. Akyol memperlihatkan betapa sulitnya tanah-tanah Muslim ketika itu menghindari despotisme, termasuk di masa kehidupan sarjana Muslim paling berpengaruh, Ibn Rushd. Toleransi yang diberikan kepada penguasa despotik Islam di masa-masa itu boleh jadi disebabkan oleh kenyataan bahwa Ibn Rushd dan cendekiawan Muslim seangkatannya terlambat memperoleh akses pada karya-karya Aristoteles yang sebetulnya lebih banyak menekankan pada prinsip-prinsip yang dalam leksikon politik modern hari ini dikenal sebagai democratic governance.
Ibn Rushd lebih banyak berinteraksi dengan karya-karya Plato seperti The Republic dan The Laws, dimana Plato diketahui cenderung memilih autokrasi di bawah kepemimpinan philosopher king. Dengan kata lain, pemikiran mengenai pemerintahan yang berkembang saat itu berorientasi pada harapan atas kehadiran benign autocrat, sesuatu yang terbawa hingga kini di banyak negeri berpenduduk Muslim.
Berbeda dengan tradisi Barat yang kemudian berkembang meminjam tradisi Aristoteles, yang lebih cenderung untuk “mencurigai” penguasa dan kekuasaan. Oleh karena itu di Barat lahir pemikiran dan instrumen untuk membatasi kekuasaan, berpisah jalan dari negeri-negeri Muslim yang lebih mentoleransi despotisme dan autoritarianisme berkepanjangan. Despotisme dan autoritarianisme membawa serta konsekuensi sosial politik yang berlarut yaitu hilangnya reason, munculnya diskriminasi, marjinalisasi dan intoleransi, termasuk kepada perempuan dan juga kelompok-kelompok yang berbeda pandangan.
Walaupun, ada juga sarjana lain saat itu seperti Ibn Khaldun yang melalui karya masyhurnya Muqadimmah menganalisa sebab-sebab jatuh bangunnya dinasti dalam dunia Islam. Ia menyimpulkan bahwa kekuasaan yang berlangsung lama sudah pasti akan menjadi korup dan itu menjadi sebab-sebab kemundurannya sendiri.
Ibn Khaldun menolak taghallub, yaitu menggapai kekuasaan dengan kekuatan memaksa, winning power by force. Ibn Khaldun menganjurkan pemerintahan yang kekuasaannya dibatasi (limited government) dan penerapan pajak yang rendah. Ibn Khaldun tentu akan mengangguk setuju bila menyaksikan prinsip-prinsip pembatasan kekuasaan dan masa jabatan penguasa hari ini di negara-negara yang demokrasinya berjalan sehat.
Fast-forward melihat situasi kontemporer. Secara ilustratif Akyol menggambarkan bahwa dari 900 pemenang Nobel dalam seratus tahun terakhir, 200 diantaranya adalah ilmuwan Yahudi dan hanya 12 orang ilmuwan Muslim walaupun jumlah total penduduk Muslim dunia adalah 100 kali jumlah penganut Yahudi (hal. 133). Menyikapi ketertinggalan ini, pandangan konspiratorial tumbuh subur di kalangan masyarakat Muslim. Namun menurut Akyol, sejalan dengan argumennya mengenai kemunduran reason dalam dunia Islam, penyebab utamanya adalah Muslim self-sabotage terhadap kemajuannya yang dulu didorong oleh sarjana-sarjana seperti Ibn Rushd.
Dalam konteks kekinian, saya menduga ada sebab lain, yang tidak dielaborasi oleh Akyol, yaitu kolonialisme dan imperialisme. Sebagian besar negara-negara berpenduduk Muslim hari ini adalah negara yang baru merdeka setelah kolonialisme berakhir setelah Perang Dunia II usai pada tahun 1945. Selama masa kolonialisme, bangunan sosial dan kultural mereka remuk dan dihancurkan. Memerlukan waktu panjang untuk proses pelembagaan institusi dan nation-building. Situasi menjadi jauh lebih rumit karena mereka sekaligus dihadapkan pada kebutuhan untuk mereformasi pemikiran dan pada saat yang bersamaan haris mengejar ketertinggalan sebagai late comer dalam pembangunan dan industrialisasi, berhadapan kembali dengan para mantan penjajahnya.
Narasi yang Memikat
Mustafa Akyol memulai buku ini dengan mengisahkan novel Hayy ibn Yaqzan karya Ibn Thufail yang pertama kali terbit pada tahun 1100-an. Karya ini kemudian menjadi rujukan para filsuf dan sarjana Barat ratusan tahun kemudian.
Hayy ibn Yaqzan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dari bahasa Arab pertama kali pada 1671 di Oxford karena baru “ditemukan” kembali. Kemudian pada tahun 1672 diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, dan pada 1674 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Sejak tahun 1671 karya magnum opus Ibn Thufail itu, yang terbit pertama kali 500 tahun sebelumnya, seketika menjadi rebutan bacaan para pemikir abad pencerahan Eropa, dari Spinoza, Leibniz, hingga John Locke.
Hayy adalah kisah bayi terdampar di pulau tak berpenghuni yang kemudian tumbuh besar menjadi dewasa tanpa kontak manusia. Kisah serupa dalam kazanah literatur Barat, mengenai manusia dewasa yang terdampar seorang diri, yaitu Robinson Crusoe, baru muncul 600 tahun kemudian. Dibandingkan Hayy, Crusoe adalah light-weight, karena Hayy ibn Yagzan pada dasarnya adalah kajian filsafat mendalam mengenai individu yang tumbuh dewasa seorang diri di pulau tak berpenghuni namun survive dengan menumbuhkan reason dan akal pikir dan “menemukan” sendiri Tuhan, dan tentu saja tanpa bantuan organized religion.
Karya Ibn Thufail ini merupakan permenungan teologi yang tidak saja dialami oleh Islam, tetapi juga oleh berbagai agama. Apakah manusia memiliki free will atau ia tidak punya kuasa atas diri dan pikirannya? Pergulatan dalam menjawab pertanyaan ini menyebabkan sejarah panjang konflik dan persekusi. Di negeri-negeri Muslim itu terjadi antara kelompok Mu’tazilah dan Asy’ariah sebagaimana dikisahkan dengan memikat oleh Akyol dalam buku ini.
Ibn Thufail sendiri adalah salah seorang penopang tradisi akal dan reason, seperti halnya Ibn Rushd, Ibn Sina (Avicena), Al Jabbar, Al Kindi, Al Farabi dan lainnya. Intelektual Muslim cemerlang seperti Ibn Thufail ini diberi ruang dan maju pesat di masa pemerintahan Sultan Al Ma’mun yang mendukung habis-habisan lembaga Bayt Al Hikma yang dikhususkan untuk mempelajari “sciences of the ancients”, yaitu mencari dan mengolah lagi tradisi pemikiran Yunani kuno. Bayt Al Hikma sendiri dibentuk sejak masa ayahnya, Sultan Harun al Rasyid, berkuasa.
Patut dicatat bahwa Bayt Al Hikmah beranggotakan tidak hanya pemikir Muslim, tetapi juga Kristen. Mereka ditugaskan Al Ma’mun untuk mencari, mempelajari, dan menterjemahkan pemikiran Pythagoras, Euclid, Plato hingga Aristoteles; dimana pada masa itu Barat/Eropa sedang terpuruk.
Merekalah yang memperkenalkan lagi filsafat pengetahuan Yunani kuno tersebut ke Barat. Itu adalah masa-masa dimana dunia Islam sangat kosmopolitan, inklusif, terbuka, berkemampuan menyerap (absorptive quality) dari segala penjuru dan memproduksi pengetahuan. Kemajuan itu hanya bisa terjadi karena adanya pluralitas pemikiran, seperti di dalam Bayt Al Hikmah yang berisi cendekiawan lintas agama.
ketertinggalan negeri-negeri Muslim lebih banyak disebabkan oleh self-sabotage dan intellectual suicide karena mencerabut kebebasan berpikir
Bagi mereka yang training akademiknya adalah bidang Islamic studies, apa yang ditulis Akyol mungkin adalah hal biasa. Kisah-kisah dan argumen yang dituliskan Mustafa Akyol bisa ditemukan terserak. Tetapi kelebihan Akyol adalah dalam buku ini ia mengurai dan menjahit kembali, memberi konteks dan bingkai, sehingga apa yang sudah “biasa” itu menemukan relevansinya dan menghasilkan narasi yang kuat.
Sebagai peneliti dengan training akademik di bidang political science, kesan saya menjadi berbeda. Telah cukup sering membaca terserak bagaimana para pemikir tangguh Muslim, yang menopang masa keemasan Islam dulu itu, kehilangan nyawa, karyanya dibakar, dan dipersekusi. Tetapi saat membaca kisah itu dinarasikan ulang dalam buku ini, hati menjadi berdebar-debar. Pikiran akan termenung ketika tiba di bagian yang mengisahkan bagaimana bahkan Ibn Rushd yang begitu cemerlang, yang dianggap sebagai precursor dalam proses enlightment dalam tradisi Kristen dan Yahudi di kemudian hari, habis ditindas, dipermalukan, diikat dipinggir jalan, dan diludahi orang yang lewat. Kitab-kitab karyanya yang ia tulis dalam bahasa Arab habis dibakar, tidak ada yang selamat. Salinan yang selamat adalah copy yang disimpan oleh sarjana Yahudi di masa itu. Bertahun-tahun kemudian karya-karya Ibn Rushd itu menemukan jalannya kembali di Barat, melalui sarjana Yahudi dan selanjutnya dipelajari dengan rakus penuh dahaga intelektual oleh para sarjana Barat, Kristen dan Yahudi, dan akhirnya meletakkan dasar-dasar inovasi dan kemajuan mereka sesudahnya.
Membaca buku ini membuat kita bersetuju bahwa ketertinggalan negeri-negeri Muslim lebih banyak disebabkan oleh self-sabotage dan intellectual suicide karena terpangkasnya kebebasan berpikir yang dulu sebetulnya diperlihatkan dengan sangat gemilang oleh para sarjana Muslim, yang kemudian dengan menyedihkan dihempaskan dan ditinggalkan oleh masyarakat Muslim sendiri.
Info Buku:
Judul: Reopening Muslim Minds: a Return to Reason, Freedom, and Tolerance
Penulis: Mustafa Akyol
Penerbit: St. Martin Essentials, 2021
Tebal : 308 halaman termasuk indeks
ISBN: 9781250256065